Kamis, 05 Maret 2009

Kenalan Yang Sangat Singkat

“Sih, kamu dicari temanku,” kata Mas Deni seraya mendekatiku.
“Teman yang mana Mas,” tanyaku sambil mengingat-ingat teman mana yang dimaksud Mas Deni.
“Itu, temanku yang namanya Hendro, rumahnya di depan toko Cahya.”
“Kira-kira aku udah tau wajahnya belum?”
“Maksudnya?” tanya Mas Deni tidak mengerti.
“Ya maksudnya apakah aku udah kenal sebelumnya?” tanyaku bermaksud menjelaskan ke Mas Deni.
“Lho, dia mau kenalan sama kamu,” tambahnya, “Berarti dia ya belum kenal tho sama kamu, karena belum kenal makanya dianya mau kenalan sama kamu.”
“Oo, maksudnya dia mau kenalan?” sahutku tanpa dosa. “Eh, tadi kok kata Mas Deni dia nyari aku, kalo nyari berarti khan aku udah kenal?”
“Eh, ini anak, serius lho ini, bahkan duarius,” katanya menegaskan.
“Oke, oke, kapan dia mo kenalan? Trus kenapa dia mo kenalan? Emang dia udah tau aku? Taunya dimana?” tanyaku tak mau kalah.


“Satu-satu Non kalo tanya,” jawabnya dengan sabar. “Gini, dia sering ngeliat kamu main ke tempatku. Trus dianya nanya ke aku siapa anak itu. Ya aku jawab kalo namanya Asih, temennya temenku. Dia bilang kalo mo kenalan, dan kujawab ya ntar tak bilang ke anaknya.”
“Orangnya gimana?” tanyaku menyelidik.
“Yang jelas anaknya cakep, baik hati, tidak sombong, dan tidak angkuh,” jawab Mas Deni menjelaskan.
“Ngiklan nich ye…, boleh lah, mumpung jomblo nich, sapa tau bisa jadi gebetan,” kataku asal.
“Oke, ntar malam jam 7 kamu bersiap, pakai baju yang bagus, dan berdandan yang cantik, biar tidak mengecewakan,” kata Mas Deni.
“Ih Mas Deni, bisa aja, kalo aslinya udah cantik, nggak perlu dipoles pun udah keliatan cantik, ya nggak?” tanyaku manja.
“Iya dech,” katanya sambil tersenyum.
Emang dech, kakakku yang satu ini, orangnya emang asyik. Aku kenal dia karena dia adalah teman dari bosku. Namanya Deni, aslinya dari Kupang. Orangnya baik dan penuh perhatian. Dia sudah saya anggap seperti kakak sendiri. Saya sering main ke kost nya untuk minta tolong kalo komputer di rental lagi ada gangguan. Ya, saya memang kerja di rental saat itu. Namanya Diva Computer. Saya bekerja sebagai operator rental, juru ketik cepat dan translator. Yang punya Diva Computer ini namanya Mas Andik dan Mas Irvan. Mas Deni ini adalah temannya Mas Andik. Nggak tau teman main ato teman seperjuangan.
Saya masih ingat, hari itu tanggal 26 Desember 2003. Tiga bulan setelah saya wisuda. Waktu berjalan begitu cepat dan tibalah saat yang dijanjikan oleh Mas Deni.
“Sih, lagi jaga rental?” tiba-tiba Mas Deni datang dan membuyarkan lamunanku.
Entahlah apa yang aku lamunkan, aku sendiri tidak tahu, mungkin karena kata-kata Mas Deni tadi siang tentang temannya yang mo kenalan sama saya.
“Eh, iya, hari ini kebagian shift malam. Anak-anak yang lain lagi sibuk,” jawabku sekenanya.
“Sampai jam berapa nanti?” tanya Mas Deni.
“Ya liat aja Mas, kalo sepi ya mungkin jam sepuluhan ntar tak tutup aja,” sahutku.
“Eh, temenku jadi lho mo kenalan sama kamu, Ges sini, Asih lagi nggak ada kerjaan,” kata Mas Deni sambil memanggil temannya.
Kemudian teman yang dipanggil tadi masuk. Orangnya lumayan cakep, tinggi tapi kurus. Wajahnya agak tidak ramah (kayaknya). Tapi okelah, semua itu menjadi satu kesatuan yang enak aja dipandang. Cuma kayaknya umurnya jauh beberapa tahun di atasku, kelihatannya. Lalu dia menjulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya, dan lagi-lagi lamunan saya buyar karenanya.
“Saya Hendro, kamu siapa?” sapanya ramah.
“Oh My God, ternyata dia ramah, jadi salah dech dugaanku, dasar Asih, sukanya menduga-duga,” pikirku dalam hati.
“Eh iya, saya Asih, senang berkenalan dengan Anda,” kataku tersipu malu.
Kemudian dia duduk sama Mas Deni, tepat didepanku, malu dech jadinya, dipandangi sama dia.
“Temennya Mas Deni?” tanyaku bingung memulai pembicaraan.
“Iya,” katanya sambil tersenyum.
“Ya Tuhan, orang ini manis juga kalo senyum,” dalam hati aku berandai-andai.
“Dah lama kerja di sini?” tanyanya.
“Hampir setahun kali, lupa nggak ngitung,” jawabku sekenanya.
Hatiku tiba-tiba berdebar-debar dan berdegub cepat. Baru kali ini saya berkenalan dengan cowok dengan hati berdebar-debar. Berapa puluh cowok yang selama ini saya kenal, tapi rasanya tidak seperti ini. Apa saya telah jatuh hati? Apa saya terpesona pada pandangan pertama. Padahal biasanya tidak seperti ini kalo berkenalan sama cowok.
“Tadi namanya sapa?” tanyaku lagi.
“Hendro, kenapa?” dia balik tanya.
“Lho, tadi Mas Deni manggilnya kok Ges?”
“Iya, nama di darat Hendro, nama di udara Boges,” katanya sembari tersenyum lagi.
“Ah, ni orang, kenapa tersenyum lagi sich, jadi tambah semakin manis tau….,” gumamku dalam hati.
Kemudian orang yang namanya Hendro tadi bercerita tentang dirinya. Tentang asalnya, tentang keluarganya, tentang kuliahnya. Walau tidak banyak dan lengkap, tapi sedikit menggambarkan siapa sosok dia yang sebenarnya.
“Mas Hendro dulu kuliahnya angkatan berapa,” tanyaku menyamarkan maksud kalo sebenarnya mau tanya lahir tahun berapa.
“Sebenarnya saya seangkatan sama Mas Deni,” jawabnya juga disertai senyum lagi.
“Kalo seangkatan Mas Deni, berarti lahir sekitar tahun 1975 ato 1976?” tanyaku sok jadi peramal.
“Yup tepat, tahun 1976, kenapa? Ada yang salah?” tanyanya.
“Nggak, nggak papa,” jawabku. “Berarti beda 5 tahun dari saya. Wuih ketuaan nggak ya kalo dijadikan pacar?” tanya hatiku sebelah kiri. “Ah Asih, kejauhen kalo mikir,” kata hatiku yang sebelah kanan.
“Kalo Asih, lahir tahun berapa?” tanyanya balik.
“Rahasia, tanya aja sama Mas Deni, dia tahu semua kok tentang saya,” kataku sambil ngelirik Mas Deni. Yang dilirik cuma senyum aja.
“Dia lahir tahun 1981, masih kecil anaknya,” katanya sambil ngeledek.
“Biar kecil khan cabe rawit ye,” jawabku tak mau kalah.
Trus Mas Hendro melanjutkan ceritanya, tumben amat, kok saya banyak jadi pendengar ya, biasanya kalo kenalan sama cowok, saya seperti orang yang sedang monolog, jadi pembicara lalu cowoknya jadi pendengar. Tapi kali ini saya yang jadi pendengar, pendengar setia, gitu istilahnya. Lalu kita tuker-tukeran nomor handphone. Dan sekitar jam delapanan dia dan Mas Deni pamitan pulang.
Sepulangnya dia, otakku terus menerus diisi oleh bayangan-bayangan tentang dia, sosok orangnya, kata-katanya, cerita-ceritanya dan apa aja tentang dia.
“Huh jadi tidak bisa konsentrasi, bete dech,” gumamku lirih.
“Ngapain ngedumel Sih, dari tadi tak perhatiin kok kayaknya ada yang dipikirkan,” tanya Mbak Febri, temanku sekamar.
Saya dan Mbak Febri, juga Iis tinggal dalam satu atap di belakang rental. Di situ ada satu kamar yang besar. Dan kami bertiga memang diminta oleh Mas Andik dan Mas Irvan, si pemilik rental, untuk tidur di situ sekalian menjaga rental.
“Nggak apa-apa mbak, itu lho gara-gara Mas Deni mengenalkan saya sama temannya yang namanya Mas Hendro, saya dari tadi kok terbayang-bayang terus.”
“Kamu suka kali,” kata Mbak Febri sok jadi peramal.
“Suka? Masih jauh kali mbak. Baru aja kenal. Tapi tu orang, lumayan juga sich. Cakep dan baik hati kayaknya,” kataku pada Mbak Febri.
“Ah kamu, jangan cepat menilai, ntar salah tau rasa kamu,” kata Mbak Febri sambil menutup gorden rental.
Ya memang waktu itu sudah jam sepuluh malam dan rental sudah sepi pengunjung, jadinya kami tutup saja. Kemudian kami berdua langsung tidur, menyusul Iis yang sudah dulu tertidur di peraduannya yang empuk.
“Huh, gila, nggak bisa tidur nich, kenapa ingat dia terus ya?” gumamku lirih.
“Sudah tidur aja, besok kamu dapat shift pagi lho, karena aku ada acara, jadinya kamu jaga pagi,” kata Mbak Febri dengan mata yang sudah terpejam.
“Hah? Shift pagi? Yaa, mampus dech, harus cepet-cepet tidur nich,” kataku dalam hati.
“Oke dech Non, met malam,” aku menyapa Mbak Febri.
Eh, nggak ada jawaban, kulihat Mbak Febri udah asyik berlayar di atas samudera kapuknya. Dan tiba-tiba handphoneku berbunyi, menandakan adanya sms masuk.
“Siapa sich malam-malam gini sms,” gumamku.
Setelah kulihat, betapa terkejutnya aku. Ternyata Mas Hendro yang sms, dan sms itu sampai saat ini masih selalu kuingat. Isinya:
‘Selamat malam, selamat tidur. Perkenalan ini sangat berkesan. Maukah besok malam saya ajak jalan-jalan ke kota?’
“Oh My God, apa dia sekarang juga sedang ingat sama saya?” hatiku sebelah kiri berharap.
“Eh, jangan ge-er dulu,” hatiku sebelah kanan menyahut.
Lalu kubalaslah sms itu:
“Terima kasih, besok malam saya tunggu.”
Memang kenalan singkat ini sangat mengesankan dan merupakan awal dari semua hal yang indah dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar