Kamis, 12 Februari 2009

Belajar Menikmati Perjalanan

“Nanti turun dulu di Terminal Blitar ya dik, kita beli bakso dulu, perut Mas lapar.”
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunan, kulihat Pak Sopir sedang konsentrasi mengemudi. Para penumpang ada yang tidur, ada yang baca koran, ada yang sedang minum aqua, ada yang makan camilan, dan bahkan ada juga yang hanya bengong, aku nggak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ada yang asyik memperhatikan pemandangan di kiri kanan bis. Juga ada yang ikut memperhatikan jalan, layaknya sopir.
“Ah, ternyata seperti ini situasi dalam sebuah bis, betapa bodohnya aku sudah berkali-kali naik bis tapi tidak pernah memperhatikan situasi yang sebenarnya di dalam bis,” pikirku dalam hati.
“Dik, kok ngelamun, tadi dengar nggak?”
“Eh, iya,” kucoba cari arah suara.
“Ya Allah, ternyata aku tidak sendirian dalam perjalanan kali ini. Aku ditemani oleh seseorang. Kenapa aku hampir melupakannya?” pikirku.
Ya, aku memang sering melakukan perjalanan. Yang paling sering sich perjalanan dari Tulungagung ke Malang dan sebaliknya. Karena dalam rangka menuntut ilmu. Dan selama ini aku memang sering, bahkan hampir selalu sendirian dalam perjalanan. Entahlah kenapa aku menyukai kesendirian. Mungkin karena latar belakangku sebagai anak tunggal yang biasa melakukan apa saja sendirian.
“Iya, tadi ngomong apa Mas?”

“Nanti kita turun dulu di Terminal Blitar, beli bakso dulu, perut Mas lapar.”
“Iya, terserah dech.”
Dalam hati aku bergumam, “Ya…, harus turun di terminal dulu, beli bakso. Berapa lama waktu yang harus dihabiskan untuk beli bakso, terus memakannya? Sesuatu yang sangat tidak pernah aku lakukan selama ini. Tapi demi yayang, gak papa lah.”
Begitulah, selama 5 tahun aku melakukan perjalanan dari Tulungagung ke Malang naik bis dalam rangka menuntut ilmu, tidak pernah sekalipun aku membeli makanan atau minuman di dalam kendaraan atau terminal dan memakannya. Paling begitu naik aku langsung ambil ancang-ancang untuk tidur ato menikmati pemandangan di depan. Karena aku suka sekali duduk di depan deket pak sopir. Bukan karena apa-apa, karena kalo duduknya di depan, bakalan aman dari orang-orang yang mabuk perjalanan. Aku orangnya paling takut dan nggak bisa bila harus menghadapi orang yang muntah di kendaraan. Karena bau muntahan bercampur bau kendaraan bisa buat aku ikut muntah juga.
Biasanya begitu aku dapat tempat duduk di depan, langsung ngorok dech. Yang paling sengsara kalo kursi depan telah penuh. Yaah, mesti duduk di mana aja dech. Tapi seperti biasa, aku langsung peluk tas, trus zzz…zzzz…zzzz. Entahlah aku paling hobi tidur di kendaraan. Mungkin karena di pikiranku telah tertanam bahwa perjalanan itu melelahkan dan membosankan. Nggak ada yang bisa dilakukan dalam hal menunggu sampainya di tempat tujuan, kecuali tidur. Karena dengan tidur tanpa terasa waktu berlalu dan kita nyampai di tujuan. Dan pak kernet lah yang biasanya ngebangunin aku, karena harus bayar ongkos bis.
Akhirnya sampailah juga di Terminal Blitar.
“Kita turun di luar ato di dalam terminal?”
“Terserah Mas aja.”
“Ya udah, di terminal dalam aja.”
Setelah turun, kami mencari-cari bakso.
“Dik, di sini bakso satu porsi berapa?”
“Gak tau,” sahutku seraya mengernyitkan dahi.
“Terus bakso yang enak dimana?”
“Gak tau juga, he he,” sambil liat kesana kemari seolah-olah sedang ikut mencari mana bakso yang enak.
“Ya udah, kita coba ke luar terminal aja, siapa tau nanti ada bakso yang enak.”
Aku ikuti saja kemauannya. Kuikuti langkahnya yang berjalan terus ke luar terminal. “Ini orang, semua kios makanan mulai dari bakso dan berbagai jenis makanan lain di terminal telah dilewati, eh kok tidak satupun ada yang menggoda dia untuk mampir. Bakso seperti apa sich yang dia cari?” gerutuku dalam hati.
“Mas, mau nyari bakso yang bagaimana sich?” tanyaku tidak mengerti.
“Maksudnya?” dia balik tanya.
“Kok dari tadi jalan terus dan nggak mampir buat makan bakso di dalam terminal tadi.”
“Nggak papa, pengen nyari yang di luar aja, sekalian nanti enak kalo mo nyari bis ke Tulungagung.”
“Yaelah…”
“Dik, kalo di luar terminal, ada bakso dimana?”
“Gak tau,” jawabku yang memang benar-benar nggak tau.
“Eh dari tadi kok jawabnya ‘gak tau’ terus sich?” dia agaknya mulai jengkel.
“Iya emang nggak tau, mo gimana lagi?”
“Selama ini adik nggak pernah beli bakso di terminal sini?”
“Nggak, he he,” jawabku polos.
‘Ya ampun, terus kalo turun di terminal ini ngapain aja?”
“Ya, langsung naik bis ke Tulungagung.”
Begitulah aku, nggak pernah sekalipun berkeinginan untuk berlama-lama di dalam perjalanan, apalagi di terminal. Kalo udah naik bis dari Malang, turun terminal Blitar, naik bis lagi ke Tulungagung, turun terminal Tulungagung, terus naik angkot desa, lalu nyampe rumah. Selesai urusan.
“Kalo lapar, atau haus?”
“Ya ditahan aja, ntar makan ato minum kalo udah nyampe rumah.”
“Duh kamu ini dik, bener-bener dech….” dia tidak meneruskan kata-katanya.
“Oke, kita makan bakso di situ, kayaknya enak nich,” katanya sambil menunjuk ke tukang bakso di depan terminal.
Setelah kita masuk, di situ tertera harga baksonya, Rp. 5.000,00 untuk bakso campur lengkap. Ya udah akhirnya kita pesan dua mangkok.
“Dik, kamu mau minum apa?”
“Teh anget aja.”
“Yaah, yang lain, coca cola ato fanta gitu loo, ntar dikasih es batu di gelas” katanya sambil menunjuk coca cola dan fanta di pojok meja.
“Emang boleh, minta es batu di gelas?”
“Ya kalo tidak boleh, ntar belilah, repot amat.”
“Nggak ah, nggak terbiasa.”
“Nggak terbiasa ato nggak pernah minum?” katanya meledek.
“Dua-duanya.”
“He he dasar, trus gimana nich, jadi coca cola ato teh anget?” tanyanya.
“Teh anget aja.”
Akhirnya si Yayang pesen satu teh anget dan satu coca cola, tidak lupa es batunya di gelas. Maklum aja, aku adalah penikmat teh sejati. Kalau gak ada teh ya air putih aja.
Kulihat Yayang begitu menikmati bakso dan es coca colanya. Seakan tidak mau kalah aku juga menikmati bakso dan teh angetku. Diam-diam aku berpikir. “Bener juga ya si Yayang, kalo turun terminal trus nyempatin makan ato minum sebentar, walo bukan nasi, perut rasanya jadi enak, badan juga tidak lesu (ya iyalah khan kenyang). Dan perjalanan pun semakin menjadi asyik.
“Dik, sekalian ya ntar beli camilan lagi, buat di perjalanan ke Tulungagung.”
“Camilan yang tadi kayaknya masih kok,” kataku sambil menunjuk sisa camilan perjalanan tadi.
“Nggak papa, beli lagi buat cadangan.”
“Terserah Mas dech.”
Kemudian setelah membeli camilan, kita lalu naik bis ke Tulungagung. Di dalam bis si Yayang asik makan camilan. Akupun juga ikut menikmati camilan itu. Seumur-umur baru ini dech, aku menyempatkan makan camilan di dalam kendaraan. Biasanya, tau sendiri khan, daripada makan gitu mending tidur aja.
Perjalanan dari Blitar ke Tulungagung membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam. Setelah nyampai Tulungagung, ternyata ayah tercinta dan tetangga telah siap dengan motor jemputannya. Syukurlah akhirnya kita tidak kehilangan transport untuk naik angkot desa.
Dalam perjalanan ke rumah aku mulai berpikir lagi, “Kayaknya ini pengalamanku yang paling asyik dalam perjalanan. Aku mulai belajar untuk menikmati suatu perjalanan dengan transportasi umum. Ternyata perjalanan itu tidak membosankan, tidak seperti yang selama ini aku lakukan. Mulai saat ini dan seterusnya, aku akan mencoba dan membiasakan untuk lebih akrab dengan bis, eh maksudnya mencoba untuk menikmati setiap detik perjalanan dalam bepergian. Jadinya aku tidak bete dan bisa merubah kebiasaanku tidur di dalam bis, dan menggantinya dengan menikmati camilan ato menikmati pemandangan sekitar ato menikmati musik (kalo ada) juga singgah barang sebentar di terminal untuk makan ato minum agar badan tidak lemah, letih, lemes dan lesu (eh itu khan gejala anemia). Intinya, perjalanan dalam bepergian itu ternyata bisa dibuat menjadi sangat mengasyikkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar